![]() |
Sum ber: https://www.facebook.com/remotivi/photos/a.1504654536456223.1073741830.1504072503181093/1831997397055267/?type=3&theater |
Saya memilih "Prediksi untuk Jurnalisme 2017" (http://www.remotivi.or.id/kabar/349/Prediksi-untuk-Jurnalisme-2017) sebagai tulisan terbaik di website Remotivi selama bulan Januari 2017. Alasannya adalah:
Tulisan tersebut
mewakili harapan dan bila mungkin terlalu kasar disebut sebagai kemuraman maka
kita sebut sajalah sebagai suatu tantangan yang pastinya cepat atau lambat akan
dihadapi oleh insan jurnalisme Indonesia dan dunia pada umumnya dan redaksi
Remotivi pada khususnya.
Fakta makin
banyak dan terus beredarnya hoax atau berita palsu menjadi salah satu penanda
penting dari tahun 2016 yang baru saja berlalu dan pastinya akan terus menggema
lagi di tahun 2017. Ini bukanlah suatu kepesimisan pembaca apalagi keputusasaan
penulis beritanya namun memang agaknya demikianlah yang harus dan akan kita
hadapi bersama.
Tulisan
Wisnu Prasetya Utomo yang tertanggal 13 Januari 2017 tersebut juga makin
memikat saya karena selain menyertakan fakta dan prediksi akan jadi seperti
bagaimana jurnalisme ke depannya, tulisan tersebut juga menyajikan kritik apa
yang media seharusnya lakukan dalam menyingkapi dan membongkar berita-berita
palsu agar tidak semakin merusak jurnalisme yakni beberapa di antaranya adalah:
Bagaimana
verifikasi berita dan kolaborasi media bersama organisasi-organisasi independen
menjadi semakin penting, bagaimana menjebol bilik gema agar berita bisa
menembus dinding keyakinan orang-orang dan mau memahami kondisi mereka,
bagaimana melakukan otokritik jurnalisme dengan media harus fokus pada
substansi persoalan yang ada bukan semata pada omongan-omongan akrobat para
politisi saja, dan bagaimana seharusnya media mulai membangun kembali
kepercayaan pembaca bukan makin melebarkan keberjarakan antara jurnalis dan pembacanya.
Sejujurnya
menurut hemat saya tulisan tersebut memang belum sempurna dan tampaknya belum
juga selesai. Namun demikian tulisan yang lugas dan sederhana itu sekali lagi
mengingatkan media dan pembaca bahwa keduanya adalah bentuk sinergis dan mutualis
yang tidak dapat dipisahkan. Bahwa media membutuhkan pembaca demikian juga
sebaliknya. Hubungan ini perlu dipereratkan agar mimpi buruk Prediksi untuk
Jurnalisme 2017 'Apakah jurnalisme akan (terus) kalah oleh berita palsu?' tadi
tidak akan benar-benar terjadi. Bahwa sudah saatnya media mendekati
pembaca-pembaca, untuk mendapatkan kembali kepercayaan mereka.
Bahwa sudah
seharusnya dan semestinya media berpihak pada pembaca bukan lagi sekedar
mengejar target, tema, apalagi sampai menerima pesanan berita dari pihak-pihak
yang berpunya. Bravo untuk REMOTIVI/Wisnu Prasetya Utomo!
---
13/01/2017 PREDIKSI UNTUK JURNALISME 2017 Apakah jurnalisme akan kalah oleh berita palsu? Hoax atau berita palsu menjadi salah satu penanda penting dari tahun 2016 yang baru saja berlalu. Di berbagai negara, berita-berita palsu bahkan sudah mendelegitimasi peran jurnalisme media-media arus utama.
Peristiwa-peristiwa penting seperti keluarnya Inggris
Raya dari Uni Eropa (Brexit), pemilihan presiden Amerika Serikat, hingga
konflik yang masih berkepanjangan di Suriah berkelindan dengan berita-berita
palsu yang menyebarkan misinformasi. Dalam konteks di Indonesia, beberapa
peristiwa seperti aksi besar-besaran 4 November dan 2 Desember juga tak luput
dari peran berita-berita palsu yang ikut memprovokasi dan memanaskan suasana.
Dalam situasi ketika hoax semakin dipercaya, peran apa
yang mesti dilakukan oleh jurnalisme? Nieman Lab meminta komentar dari berbagai pakar
media untuk membaca kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di tahun ini.
Sebagian prediksinya tidak jauh-jauh dari upaya membongkar berita-berita palsu
agar tidak semakin merusak jurnalisme. Beberapa di antaranya adalah:
Verifikasi Semakin Penting
Claire Wardle, peneliti di First Draft, menyebut bahwa
kerja kolaborasi untuk memverifikasi berita-berita palsu, khususnya yang masif
beredar, akan semakin sering dilakukan. Kolaborasi ini tidak hanya dilakukan
oleh media, tetapi juga oleh organisasi-organisasi independen yang mempunyai
kebutuhan untuk membabat berita-berita palsu yang berseliweran.
Media juga akan mulai membongkar berita-berita palsu
tersebut, khususnya yang berkaitan atau yang menyerang media itu sendiri. Hal
ini dilakukan dalam rangka menanggulangi krisis kepercayaan terhadap media arus
utama melalui informasi-informasi palsu yang semakin sering beredar dan bisa
berbahaya.
Menjebol Bilik Gema
Bilik gema (echo chamber) menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan berita palsu bisa tersebar luas. Dalam konteks di media
sosial, bilik gema membuat orang hanya mau membaca pendapat dan informasi yang
sama dengan yang ia yakini.
Jurnalisme, seperti disebut jurnalis Der Spiegel Ole
Reißmann, harus berperan dalam menembus bilik gema ini. Bagaimana cara
beradaptasi dalam tujuan berkomunikasi dengan orang yang tak menganggap fakta
sebagai hal yang penting? Bagaimana media bisa menembus dinding keyakinan
orang-orang jika tidak mau memahami kondisi mereka?
Otokritik Jurnalisme
Di berbagai peristiwa yang terjadi tahun 2016, banyak
media arus utama yang gagal memahami kehendak publik. Alih-alih menyuarakan
keresahan di bawah, jurnalisme justru menjadi perpanjangan tangan elite yang
membaur dengan tuntutan meraih klik. Tak heran jika Brexit dan
kemenangan Donald Trump dianggap sebagai suatu yang mengejutkan. Padahal, bisa
jadi kejutan itu muncul karena media semakin berjarak dari publik.
Menurut Zizi Papacharissi, profesor komunikasi di
University of Illinois-Chicago, apabila jurnalisme ingin kembali mengambil
peran, media-media harus fokus pada substansi persoalan yang ada, bukan semata
pada omongan-omongan akrobat para politisi.
Relasi Baru Media dan Pembaca
Salah satu kritik yang muncul dalam jurnalisme dan
media saat ini adalah keberjarakan antara jurnalis dan pembacanya, tidak adanya
ruang lebar untuk saling beriteraksi, juga tidak terlalu kentaranya strategi
media-media besar lawas untuk mendekati pembaca-pembaca dari generasi milenial.
Di tahun 2017, Tracey Powel, pendiri AllDigitocracy,
menyebut bahwa semestinya media mulai membangun kembali kepercayaan pembaca.
Apabila media gagal melakukan hal tersebut, maka mereka hanya akan mengulangi
kesalahan di 2016. Di Amerika Serikat tahun lalu, misalnya, angka kepercayaan
terhadap media arus utama menurun drastis yang diakibatkan oleh bias atau sikap
partisan yang keterlaluan. Ini bisa berbahaya jika ketidakpercayaan terhadap
media arus utama mengakibatkan kepercayaan tersebut justru jatuh pada
berita-berita palsu atau hoax. (REMOTIVI/Wisnu Prasetya Utomo)
|
|||
No comments:
Post a Comment